Maju Indonesiaku --- Kali ini maju-indonesiaku membahas tentang Filosofi dan Arti dari Unsur-Unsur Penjor bagi Umat Hindu. Kenapa kami membahas tentang Penjor, karena setiap perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan, serta odalan-odalan dirumahnya maupun di Pura, umat hindu di bali selalu memasang Penjor di depan rumahnya masing-masing.
Penjor |
Penjor berasal dari kata Penjor, yang berarti Pengajum, atau Pengastawa, kalau dihilangkan huruf "nj" diganti dengan "ny" menjadi kata benda yaitu Penyor yang berarti sebagai sarana untuk melaksanakan Pengastawa. Penjor adalah sebuah tiang bambu tinggi yang dihiasi dengan janur, hasil-hasil bumi, dan kain warna kuning putih. Bahan dari Penjor sebatang bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan janur/ daun yang muda serta daun-daunan lainnya (plawa). Perlengkapan Penjor Pala Bungkah (umbi-umbian seperti ketela rambat). Pala Gantung (misalnya kelapa, mentimun, pisang, nanas, dll). Pala Wija (seperti jagung, padi dll), jajan, serta sanggah Ardha Candra lengkap dengan sesajennya. Pada ujung Penjor digantungkan Sampiyan Penjor lengkap dengan porosan dan bunga. Sanggah Penjor mempergunakan Sanggah Ardha Candra yang dibuat dari bambu, degan bentuk dasar persegi empat dan atapnya melengkung setengah lingkaran sehingga bentuknya menyerupai bentuk bulan sabit.
Memasang Penjor bertujuan untuk mewujudkan rasa bakti dan sebagai ungkapan terima kasih kita atas kemakmuran yang diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan). Umat Hindu khususnya di Bali biasanya ketika menyambut Hari Raya Galungan memasang Penjor pada Hari Selasa Anggara Wuku Dungulan (Penampahan Galungan). Bambu yang melengkung adalah gambaran dari gunung tertinggi sebagai tempat suci, hiasan Penjor yang terdiri dari kelapa, pisang, tebu, jajan dan kain adalah wakil dari semua tumbuh-tumbuhan dan benda sandang pangan yang dikaruniai oleh Hyang Widhi Wasa (Tuhan).
Keberadaan bahan-bahan pembuat Penjor tentu memiliki arti dan filosofinya masing-masing. Berdasarkan lontar Tutur Dewi Tapini menyebutkan :
Ndah Ta Kita Sang Sujana Sujani, Sira Umara Yadnva, Wruha Kiteng Rumuhun, Rikedaden Dewa, Bhuta Umungguhi Ritekapi Yadnya, Dewa Mekabehan Menadya Saraning Jagat Apang Saking Dewa Mantuk Ring Widhi, Widhi Widana Ngaran Apan Sang Hyang Tri Purusa Meraga Sedaging Jagat Rat, Bhuana Kabeh, Hyang Siwa Meraga Chandra, Hyang Sadha Siwa Meraga "Windhune", Sang Hyang Parama Siwa Nadha
Artinya : Wahai kamu orang-orang bijaksana, yang menyelenggarakan yadnya, agar kalian mengerti proses menjadi kedewataan, maka dari itu sang Bhuta menjadi tempat/tatakan/dasar dari yadnya itu, kemudian semua Dewa menjadi sarinya dari jagat raya, agar dari dewa semua kembali kepada Hyang Widhi, Widhi Widhana (ritualnya) bertujuan agar sang Tri Purusa menjadi isi dari jagat raya, Hyang Siwa menjadi Bulan, Hyang Sadha Siwa menjadi Windu (titik 0), Sang Hyang Parama Siwa menjadi Nadha (kecek), yang mana kesemuanya ini merupakan simbol dari Ong Kara.
Penjor Galungan bersifat religius yang mempunyai fungsi tertentu dalam upacara keagamaan dan wajib di buat lengkap dengan kelengkapannya, membuat Penjor untuk upacara memerlukan syarat tertentu, dan sesuai dengan Sastra Agama, agar tidak berkesan sebagai hiasan saja. Di dalam lontar Tutur Dewi Tapini telah disebutkan bahwa setiap unsur pada penjor melambangkan simbol-simbol suci, yaitu sebagai berikut :
- Bambu (dan kue) sebagai vibrasi kekuatan Dewa Brahma
- Kelapa sebagai simbol vibrasi Dewa Rudra
- Kain Kuning dan Janur sebagai simbol vibrasi Dewa Mahadewa
- Daun-daunan (plawa) sebagai simbol vibrasi Dewa Sangkara
- Pala bungkah dan pala gantung sebagai simbol vibrasi Dewa Wisnu
- Tebu sebagai simbol vibrasi Dewa Sambu
- Padi sebagai simbol vibrasi Dewi Sri
- Kain Putih sebagai simbol vibrasi Dewa Iswara
- Sanggah sebagai simbol vibrasi Dewa Siwa
- Upakara sebagai simbol vibrasi Dewa Sadha Siwa dan Parama Siwa
Ista Dewata |
Pemasangan Penjor dilaksanakan pada hari selasa Anggara Wage Wuku Dungulan (sehari sebelum galungan) setelah menghaturkan "Banten Penampahan Galungan". Penjor dapat dicabut pada hari Redite Umanis Langkir (sehari setelah kuningan). Sementara itu perlengkapan seperti sampyan serta perlengkapan upakara Galungan lainnya dapat dibakar dan abunya sebagian disimpan pada kelapa gading muda yang dikasturi. Pada hari Budha Kliwon Pahang (35 Hari setelah Hari Raya Galungan) abu dalam kelapa gading tersebut di atas dilengkapi dengan sarana kawangen dan 11 uang kepeng/logam selanjutnya di tanam di pekarangan rumah atau dihanyutkan disertai permohonan pakukuh jiwa urip (kadirgayusan)
Penjor Upakara/Upacara dengan Penjor Hiasan berbeda. Jadi semoga dengan artikel ini dapat bermanfaat untuk semeton sekalian.
Posting Komentar